“Dima Bumi Dipijak, Disitu Langik Dijunjuang” : Toleransi Harus Seimbang, Menyeluruh, dan Menjalar
“Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan berlelah. Manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”
Kutipan di atas adalah terjemahan dari potongan syair
berbahasa Arab Imam Syafii yang aku temukan di novel Negeri 5 Menara, salah
satu buku favoritku. Kutipan itu yang membuatku semakin yakin untuk merantau,
meninggalkan keluarga di kampung halaman demi mengejar impian dan cita-cita. Sebenarnya
dorongan untuk merantau sudah ada semenjak aku kecil. Ya, saat dimana aku
sebenarnya belum memahami apa yang aku inginkan dan tuju. Pengaruh lingkungan
dan budaya di tempat aku tinggal secara tak langsung menanamkan hasrat merantau
pada diriku.
Aku berasal dari kampung kecil di Padang, Sumatera
Barat. Minangkabau, tempat aku lahir dan besar ini memang terkenal dengan
orang-orangnya yang suka merantau, terutama bagi kaum laki-laki. Bahkan, kami
mempelajari dan mendapat dorongan merantau dari salah satu pelajaran wajib di
sekolah, yaitu BAM (Budaya Alam Minangkabau). Aku masih mengingat, di buku tersebut
disebutkan bahwa merantau memang sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan di
negeri kami. Sebagai kaum adam, kita dituntut harus sukses dan mampu memajukan
kampung tempat kita tinggal. Merantau memang terbukti mampu memberikan
kesuksesan bagi banyak orang minang. Itulah mengapa teman-teman pasti seringkali
menemukan orang Padang di lingkungan tempat tinggal. Bisa jadi dosen kamu,
teman kerja, penjual baju, hingga tukang fotokopi.
Dorongan untuk merantau pada diriku semakin besar saat
melihat keluarga besarku, terutama paman-paman berhasil meraih kesuksesan
dengan mengadu nasib di negeri orang. Nasihat dan motivasi dari mereka
membuatku semakin yakin untuk merantau. Singkat cerita, aku memutuskan untuk
merantau, belajar di negeri orang dan mencari pekerjaan. Terhitung sudah lebih
lima tahun aku mengadu nasib di negeri orang, tepatnya di Jawa.
Menjalani hidup di perantauan bukanlah suatu hal yang
mudah. Sangat sulit malah, terutama di awal perjalananku. Di Minangkabau, satu
hal yang harus dipahami saat merantau di negeri orang adalah menerapkan
filosofi “Dima Bumi Dipijak, Disitu Langik Dijunjuang” yang berarti dimana kamu
tinggal, kamu harus memahami dan menghargai adat dan peraturan yang ada di
tempat tersebut. Filosofi ini selalu menjadi pengingatku sebelum dan selama
hidup di perantauan. Aku ingin berbagi cerita bagaimana struggling-nya menerapkan filosofi tersebut selama merantau serta
bagaimana filosofi tersebut dapat menuntunku untuk memahami makna toleransi dan
keberagaman. Jika biasanya cerita tentang toleransi menitikberatkan pada
bagaimana kaum mayoritas mampu toleran terhadap minoritas, tapi disini aku
ingin menceritakan bagaimana aku, sebagai minoritas mampu merasakan makna
toleransi berbekal filosofi dari kampung halamanku.
Pada tahun-tahun pertama aku merantau, jujur aku tak
terlalu memikirkan bagaimana reaksi orang-orang disekitar terhadap kehadiranku
sebagai pendatang. Yang kutau, aku akan aman karena eratnya persatuan
masyarakat minang di perantauan. Jika ada masalah, mereka pasti akan membantuku
menyelesaikannya. Selain itu, aku juga pada awalnya merantau untuk belajar,
sehingga istilahnya masih belum bergantung terhadap orang lain. Lain halnya
dengan bekerja yang mana harus mampu beradaptasi dengan cepat karena akan
berpengaruh terhadap hasil dan kenyamanan bekerja. Pada saat itu yang menjadi
fokus utamaku adalah mampu belajar dengan baik, berteman dengan semua orang,
dan tak mencari atau membuat masalah di lingkungan tempat tinggal.
Singkat cerita, aku mampu membuka diri dan
bersosialisasi dengan baik di lingkungan kampusku. Aku juga menemukan banyak
teman dari daerah lain dan mampu menghargai satu sama lain. Namun, yang menjadi
masalah adalah apa yang aku terapkan di kampus tersebut tak ku terapkan juga di
lingkungan tempat aku tinggal, ya lingkungan disekitar indekosku. Lingkungan
dimana aku berinteraksi langsung dengan masyarakat asli daerah tersebut dari
berbagai lapisan dan latar belakang, dengan pemahaman yang berbeda-beda juga
terhadap para pendatang dan toleransi dalam keberagaman. Lingkungan dimana aku
seharusnya belajar lebih dalam tentang budaya dan toleransi. Tapi, entah
mengapa aku memutuskan untuk tak terlalu terbuka bahkan cenderung bodo amat.
Dan aku yakin ini menjadi penyakit bagi kita yang sedang belajar atau berkuliah
di negeri orang. Kita cenderung hanya fokus dengan lingkungan kampus,
teman-teman kuliah, sehingga lupa untuk membuka diri dan berbaur dengan
masyarakat asli dimana kita tinggal. Ketidak seimbangan itulah yang kemudian
menyadarkanku bahwa selama ini aku melewatkan pembelajaran penting tentang
toleransi. Bukankah sebagai mahasiswa, salah satu tujuan kita adalah bagaimana
berbaur dan membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Lantas kenapa kita seolah lupa bahkan menjadi tidak toleran terhadap masyarakat
disekitar kita?
Kesalahanku adalah aku tidak membuka diri dan berusaha
untuk bersosialisasi dengan masyarakat disekitar tempat tinggalku. Aku tidak
menghidupkan filosofi “Dima Bumi Dipijak, Disitu Langik Dijunjuang” dengan
menyeluruh. Aku menghargai peraturan yang ada dengan tidak membuat masalah,
tetapi hidup di negeri orang bukan hanya tentang mencari aman dan menjalani rutinitas
hidup dengan baik kan?. Seharusnnya berpikir bagaimana menghidupkan kehidupan
kita dengan berkontribusi bagi lingkungan tempat tinggal, bersosialisasi dengan
masyarakat dan memastikan bahwa kehadiran kita membawa hal positif bagi
lingkungan. Itulah makna sesungguhnya dari filosofi tersebut, yang juga
menurutku menjadi makna lebih dalam tentang toleransi. Toleransi bukan hanya
menghargai secara pasif, tetapi menghidupkan arti toleransi tersebut dengan
membawa pengaruh baik bagi lingkungan dan membuka diri sehingga kita dan orang
lain menjadi sadar akan kehadiran dan peran masing-masing. Dengan begitu,
toleransi akan terus menjalar dan menjadi lebih berarti.
Sebagai mahasiswa yang merantau di negeri orang, tentu
sebagian besar waktuku habis untuk belajar dan berinteraksi di lingkungan kampus.
Aku tak punya banyak waktu untuk bertemu dengan masyarakat disekitar tempat
tinggal. Selain itu, aku juga berasumsi bahwa masyarakat disana akan bodo amat
juga dengan kehadiranku dan teman-teman lain. Bukankah biasanya begitu? Aku kan
tinggal di lingkungan yang biasa menjadi tempat indekos bagi para mahasiswa?
Seharusnya masyarakat disini sudah biasa dong dengan keberagaman?
Setelah beberapa tahun aku mulai merasakan bahwa
memang kita saling menghargai, tapi apa yang dinamakan toleransi itu tak
sepenuhnya aku rasakan. Jarak antara aku sebagai mahasiswa pendatang dengan
masyarakat disekitar masih jelas terasa. Aku juga lumayan kaget saat orang
tuaku tak bertanya tentang bagaimana perkembangan pendidikanku, malah mereka
bertanya sudah berapa orang masyarakat yang aku kenal disekitar tempat
tinggalku? Bukti bahwa mereka sangat concern
terhadap kehidupan sosialku dengan masyarakat asli disini.
Akhirnya, aku mencoba untuk berinteraksi dengan salah
satu masyarakat disekitar. Mencoba memperkenalkan diri dan bertukar pandangan
dengan garin di masjid dekat indekosku. Kira-kira beginilah isi percapakan
kami.
Aku : (Bersalaman
dengan bapaknya sambil memperkenalkan diri). “Saya mahasiswa di kampus X pak.
Indekos di depan pak nomor sekian”
Bapak : (sedikit
kaget). “Iya mas, oh di depan ya? Saya pernah liat masnya beberapa kali sih”
Aku : “Iya
pak, saya jumatan selalu disini. Heheheh”
Bapak : “Iya
banyak juga temannya yang lain ya, tapi pasti sibuk ya? Habis sholat langsung
pulang hahaha”
Aku : “Nggak
juga sih pak…. Biasanya karena……………………..”
Aku kemudian menceritakan sedikit hal yang aku rasakan
dan ternyata si bapak mengerti. Intinya si bapak bilang bahwa sebenarnya
masyarakat disini peduli dengan para mahasiswa. Apalagi kalau sedang ada acara,
terlebih yang ada makanannya, pasti ingin mengajak mahasiswa untuk ikut. Tapi
seringkali tak tersampaikan karena masyarakat disini berpikir mahasiswa sangat
sibuk dan sering di kampus. Jadinya, masyarakat pun tak enak untuk mengajak
para mahasiswa mengobrol.
Jelas kan? Ketidak terbukaan diri membuat kesempatan
untuk belajar menjadi tertutup. Dari apa yang disampaikan bapak itulah akhirnya
mata dan hatiku terbuka bahwa masyarakat disini menginginkan toleransi yang
lebih dari para mahasiswa. Bukan hanya saling senyum lalu pergi. Tetapi saling
bersosialisasi, menceritakan keberagaman masing-masing, dan memberi manfaat
satu sama lain. Meskipun waktu kita untuk berinteraksi tak banyak, tapi tetap
usahakan untuk bersosialisasi dengan masyarakat disekitar tempat tinggal. Kita
bisa memulai dengan hal sederhana, seperti sholat atau beribadah di tempat
ibadah dekat indekos, turut hadir dalam acara masyarakat disana, dll. Dari
situlah terbuka ruang untuk menemukan sekaligus menerapkan toleransi dengan
lebih dalam.
Sejak saat itu, aku mulai membuka diri dengan
masyarakat sekitar. Tak lupa mengajak teman-temanku juga untuk bersosialisasi
dengan masyarakat. Tak kusangka, apa yang dimulai dengan hal kecil seperti
mengobrol setelah sholat memberikan kenyamanan berinteraksi yang besar. Aku
juga tak sungkan lagi saat meminta tolong pada masyarakat disekitar jika ada
tugas wawancara lingkungan tempat tinggal dll. Masyarakat juga menjadi lebih
terbuka dan beberapa kali mengundang aku dan teman-teman untuk ikut acara karang
taruna atau 17 agustusan.
Keterbukaan memberikan kesempatan bagi kita untuk
memahami toleransi lebih dalam. Kita
bisa belajar dan memahami apa yang masyarakat inginkan dari kita. Kita juga
bisa membantu masyarakat disana dan memberikan arti penting kehadiran kita.
Bukankah itulah toleransi dalam keberagaman yang sesungguhnya? Toleransi bukan
kata pasif. Harus dihidupkan dan digali lebih dalam. Selamat menemukan arti
toleransi.
“Ini
cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara
kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan
keberagaman kamu dengan mengikuti lomba “Indonesia Baik” yang
diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di https://indonesiabaik.kbr.id/yuk-ikut-lomba-konten-baik-tentang-keberagaman/
“
Komentar
Posting Komentar